Metode Positivisme

Metode Positivisme
Metode positvisme merupakan metode pengetahuan yang valid, yang hanya menerima fakta-fakta dalam menelaah suatu objek pengetahuan (Bentham dan Mill). Pada abad ke- 18, positivisme mengembangakan pemikiran-pemikiran umum tentang kehidupan manusia, dan dari situlah berkembangnya etika dan politik sebagai disiplin ilmu yang positivistik. selain itu dijabarkan juga beberapa positivistik, yaitu positivistic social, evolusionar, kritis, dan logik.
Positivitik sosial adalah penjelasan yang lebih mendetail tentang kehidupan sosial masyarakat, misalnya kebutuhan dan perkembangan sejarah. Salah satu pemikir tentang sejarah perkembangan alam berpikir manusia menjelaskan bahwa ‘matematika bukanlah ilmu melainkan alat untuk berpikir logis’.
Positivisme evolusioner berasal dari ilmu fisika dan biologi yang menggunkan doktrin evolusi biologi. Dan berawal dari itulah Spencer beranggapan bahwa,’evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen.
Positivisme kritis atau yang dikenal empriokritisme memandang sesuatu itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu tersebut.
Positivisme logic, menurut pemikir neo-Kantian, positvisme logik menolak segala bentuk etik transeden, dan lebih menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep konfirmabilitas.
Dasar pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya memaparkan berbagai kesimpulan bahwa gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory yang sama halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti.
Misalnya dalam dunia arsitektur, dalam mendesain atau dengan membentuk suatu pola diperlukan pemikiran yang jelas ada, bukan hanya sesuatu yang klise. Perlunya suatu pembuktian dan hasil yang konkrit, yang bukan hanya teori dan ringkasan melainkan hal nyata yang berasal dari tahapan suatu proses.
Metode Fenomologi
Edmund Husserl adalah pelopor dari fenomologi (1859 – 1838). Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia dalam kehidupan, dan dengan alasan ini fenomologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomologi lebih menekankan cara atau proses pencapaian, dan menghindari konstruksi asumsi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan yang telah ada sebelumnya dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Selain itu, Fenomenologi menekankan, filsafat melepaskan diri dari ikatan sejarah apapun, apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposis.
Misalnya dalam dunia arsitektur, menghasilkan pola atau bentuk yang dapat dinikmati secara visual, misalnya rumah tinggal. Dan diperlukan proses dalam pencapaiannya kedalam kenyataan.
Metode Hermeneutika
Metode ini sama halnya penafsiran, yang menafsirkan realita dan bersifat kualitatif juga metode yang menawarkan pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial. Ada 3 komponen penting dalam Hermeneutika ini, adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks. kemudian, ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap pesan itu, dan adanya perantara atau kurir antara kedua belah pihak.
Hermeneutika, dijelaskan dengan dua versi, yang pertama Schleiermacher yang dikenal dengan hermeneutika romantik dan oleh Heidegger dikenal dengan hermeneutika fenomenologi.
Hermeneutika romantik Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsi Schleiermacher mengenai bahasa dan praktik penafsiran. Memahami berarti mengarahkan perhatian pada suatu objek , yakni bahasa. Bahasa dapat dipahami sebagai dimensi supraindividual dan dimensi individual.
Hermeneutik fenomenologi Heidegger merupakan sesuatu yang kontradiksi, atau cara pandang s melihat fenomen sebagai teks yang mengundang pertanyaan untuk kemudian diinterpretasikan. Hermeneutika fenomenologi hendak melepaskan diri dari kerangka epistimologi dimana subjek tidak lagi berhadapan dengan objek yang terhampar dihadapannya. Dengan mengandaikan subjek selalu dan sudah berada di dunia yang selalu dan sudah bermakna sebuah dunia yang bukan representasi.
Dalam dunia arisitektur, metode ini digunakan misalanya, dalam merancang tapak atau analisa, diperlukan hal yang hanya memperkirakan, dan menafsikan akan keadaan setempat. Kepastian untuk hal seperti ini sangat sulit karena belum terbentuk dan tidak ada yang dapat mengetahui pasti yang akan terjadi ke depannya, jadi dalam analisa suatu tapak hanya menjelaskan hal-hal yang hanya sebatas perkiraan terhadap lingkungan dan kawasan setempat.
Metode Kritis
Metode kritis dimulai dari adanya masalah-masalah sosial nyata yang dialami oleh sekelompok individu, kelompok-kelompok, atau kelas-kelas yang tertindas dan teralienasi dari proses-proses sosial yang sedang tumbuh dan berkembang. Diawali dari masalah-masalah praktis dan kehidupan sehari-hari jenis penelitian ini berusaha menyelesaikan masalah-masalah tersebut lewat aksi-aksi sosial yang bertujuan agar mereka yang tertindas dapat membebaskan diri dari belenggu penindasan. Riset kritis harus melakukan kritik ideologi berdasarkan perbandingan antara struktur sosial buatan dengan struktur sosial nyata. Menurut Sand Berg (1976) metode kritis menentang proses-proses sosial yang tidak manusiawi dan selanjutnya proses-proses yang tidak manusiawi tersebut dapat dipecahkan melalui aksi bersama antara peneliti dengan rakyat. Dalam metode ini terbentu berbagai tahapan, yaitu Interprestasi, analisis empiris, dialog kritis, dan dilanjutkan dengan aksi.
Dalam dunia arsitektur, proses ini akan terlihat ketika bentuk atau hasil dari desain nyata. Kekeliruan atau ketidakanyamanan baik pengguna maupun lingkungan terhadap hasil desain dapat diteliti ulang. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi, dapat di rancang kembali, sehingga menghasilkan bentukan yang sejalan dengan lingkungan dan penggunanya.

Tinggalkan komentar